beritanusantara.co.id   »   Nasional

MA Seharusnya Tidak Pisahkan Fungsi Memutus dan Melantik

Pengamat hukum: Ini dagelan dan lelucon yang tidak lucu

Donny Turang 6 April 2017, 04:02


JAKARTA, beritanusantara.co.id - Mewakili Mahkamah Agung (MA), Wakil Ketua MA Suwardi resmi mengambil sumpah Oesman Sapta sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Langkah MA menghadiri pelantikan dan pengambilan sumpah Ketua DPD baru memantik kritik tajam kepada salah satu pelaku kekuasaan kehakiman itu. Sebab, MA pula yang membatalkan dua Tata Tertib DPD. Dalam putusannya MA mengatakan Tatib itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum JENTERA, Bivitri Susanti, menilai sikap Mahkamah Agung merusak sistem yang justru sudah dikukuhkan MA sendiri. Dalam putusannya MA mengatakan masa jabatan Ketua DPD adalah 5 tahun sesuai rumusan UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

MA meneguhkan masa jabatan itu lewat dua putusan. Anehnya, MA malah mengirim utusan untuk melantik Ketua DPD yang akan menjabat periode 2,5 tahun. �Saya lebih menyotroti MA, MA datang untuk melantik padahal sebenanrya proses pemilihan DPD tidak sesuai dengan putusan MA. Karena mereka masih memakai prosedur yang 2,5 tahun itu. MA luar biasa ngaco dan merusak sistem,� ujar Bivitri kepada hukumonline, Rabu (05/4).

Menurut Bivitri, seharusnya MA tidak memisahkan fungsi memutus perkara dengan fungsi melantik pejabat negara. MA adalah lembaga negara yang seharusnya konsisten dengan putusan yang telah dibuat. MA memutus bahwa tata terbit DPD tidak sesuai dengan perundang-undangan seharusnya MA juga konsisten terhadap putusannya tersebut.

�Sebagai suatu lembaga ketatanegaraan MA harusnya konsisten. Dia memutus pergantian pimpinan itu melanggar peraturan perundang- undangaan. Kalau konsisten (dengan putusan), MA seharusnya tidak mau melantik. Kita jadi bingung,� ujarnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Astriyani, juga mengungkapkan kekecewaan atas sikap pimpinan MA. �MA seolah-olah menginjak putusannya sendiri yang memutus Tatib DPD yang menjadi dasar pemilihan Ketua DPD yang berlangsung sebelumnya tidak,� kecam Astriyani. �Sikap politik MA yang mendua justru akan mempekeruh sengketa internal DPD,� sambungnya.

Pengamat hukum tata negara, Refly Harun, juga menilai sikap MA memperlihatkan sebuah paradoks. Di satu sisi, dasar hukum pemilihan dinyatakan MA tidak sah sehingga tidak ada lagi dasarnya, namun di sisin lain MA malah bersedia melantik pejabat baru.

�Seolah- oleh mereka membedakan melantik dan memutus. Tetapi kan itu satu institusi. Masa satu institusi tidak mau menjaga marwah intitusinya sendiri. Kalau begitu caranya kita langgar saja putusan-putusan MA. Lalu kemudian dengan santainya MA mengatakan beda melantik dan memutus. Ini lelucon dan dagelan yang tidak lucu,� ujar Refli.

Selain itu, Bivitri mengingatkan pentingnya para anggota DPD menjaga marwah lembaga. DPD �satu rumpun dengan MPR dan DPR�seharusnya mematuhi putusan Mahkamah Agung, dan memberikan contoh yang baik. �Dalam konteks negara hukum, MA kan lembaga negara pemutus tertinggi seharunsya patuh pada putusan MA. Ini sangat disayangkan. Ini menjadi preseden buruk dan merusak sistem untuk ke depannya nanti,� jelasnya.

Menurut Bivitri memang seharusnya jabatan tidak patut dipergilirkan secara etika politik. Jika dikembalikan ke esensinya, DPD dulu dibuat karena mewakili wilayah. Esensi itu turun ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan anggota DPD boleh dari partai politik. Jadi bisa lihat sekarang ini DPD ingin dikuasai oleh partai politik.

�Saya mau melihat ke DPD yang seperti mau diambil alih oleh parpol. Kita lihat saja kondisi ini untuk mencari kepentingan jangka pendek. Lihat saja MA mau melantik, saya pikir itu adalah suatu indikasi bahwa memang main politik betul sampai wakil ketua MA juga mau datang, seperti mereka menjilat ludahnya sendiri,� tuturnya.

Idealnya menurut Bivitri jabatan untuk ketua DPD ialah lima tahun sesuai dengan undang-undang. Jabatan Ketua DPD bukanlah jabatan karier melainkan jabatan politik. �Harusnya lima tahun karena yang harus kita soroti jabatan pimpinan itu lima tahun. Mereka bukan jabatan karier, tetapi jabatan politik, jadi seharusnya mengikuti 5 tahun. Saya kira seharurnya mengikuti jabatan mereka,� tuturnya.

Sumber: hukumonline.com



Berita Terkini

20 April 2017

Advertorial