beritanusantara.co.id   »   Sejarah dan Budaya

Twapro, Akhir Kaum Pendukung Belanda di Minahasa (3)

JELAJAH SEJARAH MANADO

Donny Turang 28 August 2016, 13:09


Oleh: Adrianus Kojongian

(adrianuskojongian.blogspot.co.id)

Menghadapi Konperensi Meja Bundar, Twapro-Singa Minahasa mengadakan kongres besar selama tiga hari (4-6 Mei 1949) membicarakan isu-isu politik yang berkembang. Salah satu keputusan kongres adalah meminta Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota Belanda) di Indonesia Dr.J.M.Beel agar mendesak L.N.'Babe' Palar, delegasi Republik Indonesia untuk PBB di Lake Succes memperhatikan Minahasa tempat kelahirannya. Babe Palar yang asal Tomohon diharapkan secara pribadi akan meyakinkan dunia kalau Minahasa sangat damai dan ketertiban berlaku, dan secara khusus bahwa penduduknya menganut paham Huis van Oranje.

Di hari-hari tersebut, sikap anti-NIT dari Twapro ‘terguncang’ ketika Perdana Menteri NIT Anak Agung Gde Agung menunjuk Jan Maweikere sebagai anggota parlemen NIT untuk mengisi kursi yang ditinggalkan Hendriks.

Twapro sampai harus menggelar kongres selama 3 hari (27-29 April 1949), dan memutuskan tidak menerima penunjukan ketuanya. Pengurusnya beranggapan pengangkatan Jan Maweikere sebagai anggota parlemen NIT tidak sesuai dengan tujuan Twapro-Singa Minahasa. Jan Maweikere sendiri menjawab penunjukannya itu sebagai hanya bisa menerimanya secara pribadi, dan bukan dalam kapasitas sebagai Ketua Twapro.

Buletin Twapro bulan Juni 1949 mengumumkan Twapro akan berpartisipasi dalam Konperensi Meja Bundar, dan bersama KKM dan partai lain seperti Pemakat membentuk delegasi bersama ke Jakarta untuk mendapatkan informasi serta memperjuangkan kepentingan Minahasa dalam KMB.

Ketua delegasi adalah Jonathan Rondonuwu Tulaar asal Kamasi Tomohon, ketika itu menjabat Hoofd van de Residentie Waterstaat Dienst, Sekretaris delegasi G.C.Dimpudus, Ketua Pemakat. Anggota delegasi Jan P.Mongula Sekretaris KKM serta Jan Maweikere Ketua Twapro. Di Jakarta, delegasi menemui berbagai instansi dan pihak, termasuk beraudiensi 13 Juni dengan Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia selama 1 jam. Delegasi didampingi penasehat KKM, anggota parlemen NIT asal Matani Tomohon F.A.P.Pitoy.

Twapro dan KKM mendapat angin segar dari pemerintah Belanda yang menegas bahwa semua kelompok masyarakat dan pihak dari Indonesia sedapat mungkin akan diwakili di Konperensi Meja Bundar. Meski, masih harus menunggu pembahasan persyaratan akhir dari Konperensi Meja Bundar yang akan dilaksanakan di Jakarta, dan belum diambil keputusan apapun pada komposisi delegasi Indonesia ke KMB, Twapro menegas keikutsertaan pihaknya—demikian pula dengan KKM—sudah final.

Kontak KKM di Negeri Belanda adalah Dr.S.J.Warouw, mantan Perdana Menteri NIT, sementara Twapro Herman Wenas, ambtenaar yang tengah cuti di Den Haag.

Delegasi Twapro yang dibentuk untuk KMB Juni 1949 sebagai ketua adalah Jan Maweikere, sekretaris D.H.Undap dan penasehat Herman J.Wenas. Tapi, akhir Juli 1949, delegasi Twapro mengalami perubahan komposisi. Penasehat Herman Wenas digantikan oleh Mr.Konrad Ranti, ambtenar di Departemen Onderwijs, Kunsten en Wetenschappen (OKW) di Jakarta. Anggota delegasinya menjadi K.Mangundap, D Undap dan Mr.Ranti.

Mr.Ranti merangkap pula sebagai sekretaris pertama delegasi KKM. Delegasi KKM sendiri menyertakan intelektual Minahasa seperti Prof.dr.J.C.Engelen, mantan gurubesar Universitas Indonesia dan Dr.S.J.Warouw.

Tapi, pembentukan delegasi-delegasi tersendiri ini menimbulkan perdebatan sengit dan kekacauan di Minahasaraad yang berkepanjangan hingga akhir tahun 1949. Tanggal 7 Juli 1949 pleno Minahasaraad yang didominasi kelompok pendukung Republik memutuskan tidak ada delegasi terpisah ke KMB, dan memberi kepercayaan penuh pada NIT. Sebagai wakil, Minahasaraad kemudian menunjuk 2 anggotanya untuk menghadiri KMB, sehingga pihak oposisi di Minahasaraad seperti Twapro, Hoofdenbond dan Pemakat memprotes keras.

Delegasi Twapro yang diwakili D.H.Undap baru berangkat ke Negeri Belanda 29 Agustus 1949, bersama rombongan PTB pimpinan L.Polhaupessy, K.K.Vigeleyn-Nikijuluw, dan D.P.Zacharias. Status Undap sebagai anggota delegasi PTB/Twapro. Konperensi Meja Bundar sendiri telah mulai digelar di Den Haag 23 Agustus dan berlangsung hingga 2 November 1949.

Twapro, KKM dan PTB yang mengharapkan memilik posisi khusus dalam KMB harus gigit jari, meski telah melobi dan bertemu pengurus partai-partai politik Belanda, seperti Partai Liberal (Volkspartij voor Vrijheid en Democratie=VVD), Partai Rakyat Katolik (Katholieke Volkspartij=KVP), Anti-Revolutionaire Partij (ARP) dan Christelijk-Historische Unie (CHU). Namun, propaganda dan publisitas besar media-media Belanda bahwa mereka telah setia kepada Ratu, bendera tiga warna dan melayani untuk kepentingan kerajaan, mendatangkan banyak simpati di Negeri Belanda. Ratu Belanda sendiri sengaja menerima perwakilan Twapro dan PTB bersama KKM di istana Huis ten Bosch, Rabu 19 Oktober 1949.

Kecewa dengan NIT dan kegagalan di KMB menyebabkan koalisi Twapro dan KKM semakin gencar memperjuangkan Minahasa lepas dari NIT dan berdiri sendiri sebagai negara bagian dalam RIS, lewat pelaksanaan plebisit.

PEMILU PARLEMEN NIT

Dokter V.L.Ratumbuysang, Ketua KKM dalam wawancaranya dengan Locomotief Oktober 1949 mengklaim bersama Twapro dan partai pendukungnya memiliki mayoritas suara dari sekitar 400 ribu penduduk Minahasa, dengan 171.000 orang yang berhak memilih. Hitungan Ratumbuysang adalah kelompok kanan, terdiri Twapro memiliki 73 ribu anggota dan Pemakat 15 ribu anggota, berbanding terbalik dengan pendukung republik yakni: GIM dan PSI, dengan sekitar 40 ribu anggota. Ia meyakini sekitar 43 ribu suara yang belum menentukan sikapnya akan berubah setelah diberikan penjelasan-penjelasan. Ia pun membela Twapro, bahwa anggota Twapro yang pensiunan militer dan keluarganya hanya beberapa ribuan orang saja. Bersambung



Berita Terkini

20 April 2017

Advertorial