beritanusantara.co.id   »   Sejarah dan Budaya

Twapro, Akhir Kaum Pendukung Belanda di Minahasa (2)

JELAJAH SEJARAH MANADO

Donny Turang 28 August 2016, 12:49


Oleh: Adrianus Kojongian

(adrianuskojongian.blogspot.co.id)

Hasilnya, kaum federalis mengalahkan kelompok dari barisan pendukung Republik Indonesia. Pembagian kursi di Minahasaraad setelah pemilihan umum adalah Hoofdenbond 7 kursi, Barisan Nasional Indonesia 7 kursi (termasuk kursi PSI), Twapro 5 kursi, Gerakan Pemilih (berasal dari Gerakan Inonesia Merdeka=GIM) 2 kursi, Persatuan Guru Kristen Indonesia (PGKI) 1 kursi dan Pakasaan Tonsea 1 kursi.

Secara individu, Jan Maweikere Ketua Twapro memperoleh suara terbanyak dari semua 236 calon yang berlaga di pemilu. Twapro seperti sebelumnya membentuk sayap kanan ekstrim di Minahasaraad.

Kendati demikian, hasil pemilihan itu tetap digugat Twapro yang mensinyalir terjadinya penyimpangan. Hal mana tentu saja disanggah Kepala Daerah Minahasa (KDM) Dirk August Theodorus Gerungan. Begitu pun Pemerintah NIT membantahnya, lewat pernyataan resmi Kementerian Penerangan 8 Mei 1948.

SINGA MINAHASA

Buntut ribut-ribut, pemerintah NIT ‘menegur’ Twapro, sementara Pemerintah Daerah Minahasa meminta Presiden NIT melarang Twapro dengan surat bertanggal 21 April. Teguran pemerintah NIT yang dianggap Twapro sebagai penghinaan, ditambah pelarangan tersebut, menyebabkan Twapro merubah nama organisasinya lewat pengumuman resminya pada minggu kedua Mei 1948. Alasannya adalah untuk mempertajam perjuangannya. Twapro berganti nama menjadi Singa Minahasa. Namun, meski merubah namanya, sebutan Twapro tetap melekat, dengan embelan Twapro-Singa Minahasa.

Koalisi longgar dilakukan dengan Komite Ketatanegaraan Minahasa (KKM) pimpinan Dokter V.L.Ratumbuysang. Twapro-Singa Minahasa seide dengan KKM agar Minahasa menjadi daerah istimewa. Bila KKM mengingini sebuah negara bagian yang terpisah dari NIT dan perwakilan sendiri di pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), Twapro mengingini negara bagian dibawah naungan Ratu Belanda. Twapro bahkan dalam kongres tiga harinya (27-29 April 1949) resmi memutuskan tidak ingin berhubungan dengan NIT, ‘tapi dalam arti untuk memasuki hubungan khusus dengan kerajaan bentuk baru, dengan status sama seperti Suriname dan Antilen Belanda.’’

Kongres Twapro di Tomohon tanggal 15 Oktober 1948 mengeluarkan mosi mendesak pemerintah Belanda agar mengadakan plebisit di Minahasa sesegera mungkin untuk penentuan status Daerah Minahasa. Bahkan, pengurus besar Twapro pada 18 Juli 1949 menegas keinginan mereka membentuk negara bagian tersendiri itu akan dikomunikasikan kepada Ratu dan parlemen Belanda. Termasuk pula pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden Amerika Serikat Harry S.Truman dan Presiden Filipina Elpidio Quirino.

Tanggal 8 Desember 1948 Jan Maweikere memimpin delegasi Twapro-Singa Minahasa ke Jakarta, dengan anggota K.Mangundap dan E.D.Dengah, mantan Menteri Pekerjaan Umum NIT yang bertindak sebagai penasehat Twapro-Singa Minahasa. Delegasi mendesak agar hubungan Belanda-Indonesia dibawah Mahkota Belanda dipertahankan. Delegasi bertemu pejabat-pejabat Belanda serta kelompok-kelompok sehati dengannya, seperti Persatuan Timoer Besar (PTB).

Twapro-Singa Minahasa mengklaim di bulan Desember itu memiliki anggota terdaftar 60.400. Di bulan Januari 1949 Twapro mengumumkan mempunyai anggota sebanyak 67.559 orang, dan Juni 1949 dengan 72.000 anggota. Cabangnya tersebar di berbagai kota Minahasa, bahkan di luar daerah seperti di Makassar. Bersambung



Berita Terkini

20 April 2017

Advertorial