beritanusantara.co.id   »   Sejarah dan Budaya

Twapro, Akhir Kaum Pendukung Belanda di Minahasa (1)

JELAJAH SEJARAH MANADO

Donny Turang 24 August 2016, 00:10


Oleh: Adrianus Kojongian

(adrianuskojongian.blogspot.com)

TWAPRO, kepanjangan dari Twaalfde Provincie, adalah organisasi politik yang pernah populer di Minahasa selang tahun 1946-1950. Dari namanya, gampang ditebak, tujuan pengurus besarnya adalah ingin menjadikan Daerah Minahasa sebagai provinsi keduabelas (twaalfde provincie) dari Belanda. Memang, Negeri Belanda saat itu hanya terdiri atas 11 provinsi, dan banyak daerah, termasuk tanah jajahannya di Indonesia dan Karibia yang oleh segelintir kalangan masyarakatnya dicita-citakan sebagai provinsi keduabelasnya.

Minahasa sebagai Twaalfde Provincie, sebenarnya, sudah bergaung lama di masa kolonial. Prof.Ir.E.C.Gode Molsbergen, Landsarchivaris di Weltevreden menyebutnya di Nieuwe Rotterdamsche Courant 1929 ketika perayaan dua setengah abad Perjanjian Minahasa-Belanda. Aspirasi menjadikan Minahasa sebagai provinsi keduabelas makin sering terdengar di tahun 1930-an, terutama dari kalangan militer Manado dalam KNIL, bahkan keras berkembang dari eks marsose.

Adalah Jan A.Maweikere (namanya sering ditulis Mawikere) dari Tomohon yang tampil sebagai figur utama perpolitikan Minahasa selama setengah dekade memperjuangkan keinginan tersebut. Jan Maweikere adalah pensiunan sersan yang terakhir berdinas di kepolisian Hindia-Belanda dan menjabat detachementscommandant van de gewapende politie di Kalimantan.

Tomohon sejak Belanda berkuasa ulang dijadikan ibukota Keresidenan Manado. Di Kaaten Matani (sekarang Kelurahan Matani I Kecamatan Tomohon Tengah Kota Tomohon) tanggal 25 Maret 1946, Jan Maweikere mendirikan ‘partai’ Twapro yang bertujuan utama menjadikan Minahasa sebagai kesatuan dan provinsi keduabelas dari kerajaan Belanda.

Awalnya Twapro mendapat banyak simpatisan dan anggota dari kalangan pensiunan eks KNIL Manado. Propaganda Twapro gencar dilakukan sampai ke pelosok Minahasa, karena adanya penerbitan media tersendiri, berupa mingguan ‘Kesatuan Kerajaan’. Propaganda pun dilakukan liwat berbagai pemberitaan aktivitasnya di media-media Hindia-Belanda dan di Negeri Belanda liwat berita-berita telegram yang dirilis dari Tomohon. Baru mulai akhir tahun 1946, Twapro membuka lebar-lebar pintunya bagi keanggotaan untuk umum. Sejak saat itu Twapro berubah menjadi salahsatu organisasi politik besar di Minahasa.

Selain Jan Maweikere sebagai ketua, duduk sebagai pengurus besarnya pensiunan-pensiunan yang pintar berorasi dan berpropaganda, umumnya sesama orang Tomohon. D.Poluan, K.Mangundap dan J.A.Pitoy. Mangundap adalah pensiunan Hoofdcommies Departement van Oorlog penerima medali zilver Orde van Oranje-Nassau. Posisi sekretaris Twapro, pertama kali dipegang D.Poluan, kemudian digantikan oleh K.Mangundap 1947 dan D.H.Undap sejak 1949. Undap dari kalangan muda, adalah putra guru tua Zending terkenal di Tomohon Lambertus Undap.

Ketika Minahasaraad (Dewan Minahasa) dibentuk kembali dengan beslit gubernemen tanggal 27 Mei 1946 nomor 1, Jan Maweikere adalah salah seorang dari ke-21 anggota yang dilantik Conica Manado 31 Mei 1946.

Pernyataan politik Twapro selalu menegas kesetiaan kepada Huis van Oranje. Dalam telegramnya kepada Ratu Belanda Juli 1947, Twapro meminta bahasa Belanda tetap harus dipertahankan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Minahasa. Selain itu, Twapro berharap bendera Belanda tetap berkibar megah. Untuk itu, Twapro meminta donasi sebanyak 20.000 bendera yang akan dikibarkan pada perayaan ulang tahun Ratu Belanda.

POSISI KETIGA PEMILU 1948

Di percaturan politik, Twapro memboikot parlemen dan pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT), karena menganggap parlemen dan pemerintahnya sekedar interim. Ketika Minahasaraad memilih anggota parlemen NIT untuk pengganti kursi yang ditinggalkan Herman J.Wenas, Twapro sengaja tidak memberikan suara. Jan Maweikere tanggal 19 November 1947 menegaskan prinsip Twapro adalah menahan diri dari partisipasi dalam pemilu mana pun untuk parlemen NIT. Herman Wenas yang merupakan ambtenar senior dikenal sebagai simpatisan Twapro, dan kelak menjadi penasehat utama Twapro.

Perubahan drastis terjadi minggu kedua bulan Januari 1948. Tiba-tiba, Twapro memutuskan meninggalkan sikap non-kooperatifnya. ‘’Dan memastikan setiap saat dan dalam segala hal, dimana diperlukan akan memberikan bantuan kepada pemerintah, sesuai undang-undang pemerintah interim,’’ demikian pernyataan resminya. Walau demikian, keputusan Twapro tersebut adalah dengan penekanan akan sikapnya untuk terus mengejar tujuannya, yakni membentuk Minahasa sebagai provinsi keduabelas Belanda.

Twapro memperjelas posisi barunya tersebut adalah untuk memungkinkan ikut berpartisipasi dalam pemilihan dewan lokal (Minahasaraad) dan perwakilan lainnya di Minahasa. Pemilihan umum di Minahasa ini adalah yang pertamakali di Indonesia yang diselenggarakan atas dasar perwakilan proporsional, diikuti pria dan wanita berusia di atas 21 tahun.

Pemilihan tersebut berlangsung tanggal 1 Maret 1948, diikuti 236 kandidat memperebutkan 25 kursi yang tersedia di Minahasaraad. Ada 171.721 surat suara yang dikeluarkan dengan 500 kotak suara di seluruh Minahasa. (Berita lain mencatat hampir 136.000 pemilih yang muncul, dari 173.000 pemilih).

Pemungutan suara berjalan sangat tertib, dan hasilnya telah diketahui tanggal 6 Maret 1948. Hoofdenbond, organisasi politik para ambtenaar Minahasa memenangkan pemilihan umum, dengan 28.578 suara, diikuti Barisan Nasional Indonesia (BNI) 28.038 suara, dan di tempat ketiga adalah Twapro dengan 22.382 suara, atau sekitar 25 persen suara pemilih. Partai lain yang meraih suara adalah Pendirian Masjarakat Katolik (Pemakat) 8.320 suara, KRIS 1.758 suara, PGI+PGKI 4.827 suara, Barisan Rakyat 1.665 suara dan Pakasaan Tonsea 3.641 suara. (Bersambung)



Berita Terkini

20 April 2017

Advertorial