beritanusantara.co.id   »   Informasi Keberadaan Lingkungan

Pengembangan Listrik Tenaga Surya Masih Terkendala, Mengapa?

Donny Turang 30 November 2016, 04:59


JAKARTA, beritanusantara.co.id - Proyek pembangkit listrik 35.000 Mega Watt, sekitar 25% bersumber energi terbarukan, antara lain menargetkan 6.400 MW untuk energi surya fotovoltaik (PV). Bagaimana kondisi energi panel surya ini di Indonesia?

�(Untuk pembangkit energi terbarukan) ada beberapa sudah tender. Target minimal 5.000 MW tercapai pada 2019,� kata Direktur Konversi Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Maritje Hutapea.

Menurut dia, penting bagi pemerintah menggenjot penggunaan energi baru dan terbarukan, salah satu memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca 29% pada 2030.

�Penting untuk meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi serta meningkatkan pertumbuhan industri dalam negeri,� katanya.

Meskipun begitu, dia menyadari industri fotovoltaik dalam negeri belum berkembang baik walau potensi alam sangat besar. Potensi energi matahari di Indonesia berkisar 4,8 kWh per meter persegi hari.

�Animo masyarakat untuk industri fotovoltaik sangat besar, namun industri dalam negeri belum berkembang. Potensi bahan baku kita besar. Indonesia kaya pegunungan yang kaya batu silika,� kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, Syarif Hidayat.

Selama ini, kendala terbesar dalam pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)� sebagian besar dibangun di Indonesia bagian timur� dari segi pemeliharaan. �Pembangkit ini critical point-nya pada baterai. Banyak PLTS setelah dibangun dan dipakai baterai rusak. Bagaimana ini bisa dikelola dengan baik,� katanya.

Syarif juga menyoroti industri komponen pembangkit ini belum berkembang hingga masih impor.

Kondisi ini dibenarkan Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi (B2TKE) BPPT, Andhika Prastawa. Dia bilang, industri fotovoltaik Indonesia masih rendah.

Menurut studi kelayakan BPPT 2012, Indonesia sangat layak bangun industri panel surya karena sinar matahari stabil dan kaya daerah pegunungan sumber pasir silika sebagai bahan dasar lempengan untuk pembangkit ini.

�Kita punya bahan dasar, bahan baku masih impor. Pasir silika, bahan utama industri ini, sayangnya masih diperdagangkan mentah,� katanya dalam Konsorsium Kemandirian Industri Fotovoltaik Nasional, akhir pekan lalu di Jakarta.

Padahal, pasir silika biasa laku US$30 perton jika diolah menjadi solar sel bisa US$60 perkilogram.

Teknologi ini, katanya, sudah diterapkan sejak 80-an dengan kapasitas instalasi, tahun 2015, sebesar 77 MWp dengan instalasi terbesar di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar IPP 5MWp.

Industri ini, katanya, juga akan membuka lapangan pekerjaan, 35 kesempatan kerja per satu MW. �Dengan kata lain kalau program pemerintah ini (35.000 MW ) akan buka 35.000 kesempatan kerja,� katanya.

Sisi lain, katanya, pemerintah harus menyiapkan sumber daya manusia sebagai tenaga ahli dan terampil. �Konsekuensi logis, harus ada riset nasional pengembangan dan dana pendidikan yang cukup untuk industri ini. Kadang kita lupa kita industri tapi tak tenaga ahli dan teknis. Kemenristek Dikti perlu siapkan ini.�

Sistem pembangkit listrik tenaga surya, katanya, ada dua, yakni on grid (terhubung jala pakai modul surya dan inverter) dan off grid (tak terhubung jala).

Saat ini, baru ada 11 produsen modul fotovoltaik di Indonesia. Investasi swasta dalam industri fotovoltaik terbilang sepi, dugaan Andhika karena kebimbangan belum ada �pasar� pasti.

�Ini bak ayam dan telur. Produsen dulu atau pasar dulu? Tak salah juga kalau pemerintah mendorong karena jika swasta belum mau dirikan pabrik, pemerintah siapkan dulu.Pemerintah berkewajiban menciptakan pasar,� katanya.

Sumber: mongabay.co.id



Berita Terkini

20 April 2017

Advertorial