TRENDING NOW   :  
    beritanusantara.co.id   »   Nasional

    Sektor Kesehatan Jadi Perhatian KPK

    Donny Turang 21 October 2016, 07:29


    JAKARTA, beritanusantara.co.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong dilakukannya perbaikan tata kelola obat pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini dilakukan setelah kajian KPK menemukan 8 persoalan pada sejumlah pemangku kepentingan.

    Demikian disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di hadapan Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Nila Djuwita F Moeloek dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Penny Kusumastuti Lukito pada Rabu 19 Oktober 2016 di Jakarta.

    �Sektor kesehatan menjadi perhatian KPK. Karenanya, kami akan terus memantau rencana perbaikan yang akan dilakukan masing-masing pemangku kepentingan,� kata Alexander.

    Delapan persoalan itu, Alexander menyebutkan, antara lain Ketidaksesuaian Formularium Nasional (FORNAS) dan E-catalogue; Aturan perubahan FORNAS berlaku surut melanggar azas kepastian hukum; Mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal; dan Tidak akuratnya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) sebagai dasar pengadaan e-catalogue.

    Empat lainnya, yakni ketidaksesuaian daftar obat pada Panduan Praktik Klinis (PPK) FKTP dengan FORNAS FKTP; Belum adanya aturan minimal kesesuaian FORNAS pada Formularium RS/Daerah; Belum optimalnya monitoring dan evaluasi terkait pengadaan obat; serta Lemahnya koordinasi antar lembaga.

    Salah satu persoalan, Alexander merinci, yakni pada ketidaksesuaian FORNAS dan e-catalogue. FORNAS disusun untuk mengendalikan mutu, sedangkan e-catalogue dibuat untuk mengendalikan biaya. Namun, fakta di lapangan ternyata tidak semua obat FORNAS tayang di e-catalogue. Dan sebaliknya, ada juga obat yang tidak masuk FORNAS tetapi tayang di e-catalogue.

    �Kondisi ini mengakibatkan terdapat obat yang tidak memiliki acuan harga sebagai dasar BPJS Kesehatan membayar klaim. Selanjutnya juga menimbulkan kesulitan bagi faskes untuk melakukan pengadaan obat karena tidak semua obat yang dbutuhkan tersedia,� jelasnya.

    Persoalan lain, Alexander menjelaskan, tidak akuratnya RKO sebagai dasar pengadaan e-catalogue. Data RKO yang dihimpun Kementerian Kesehatan dari Dinkes dan Faskes saat ini belum akurat, karena belum semua pihak menyampaikan RKO sebagai dasar pengadaan obat di e-catalogue. Selain itu, data RKO yang ada pun melenceng jauh dari realisasi belanja obat. Di sisi lain menimbulkan kerugian pada industri farmasi karena ketidakpastian pemenuhan komitmen yang telah mereka berikan.

    �Ini tentu saja menimbulkan kondisi kekosongan stok obat atau kelebihan stok obat,� katanya.

    Sementara itu, menanggapi hasil kajian ini, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek menyadari sejumlah kendala yang berada dalam kendali kementeriannya, misalnya terkait FORNAS dan RKO. Ia mencontohkan wilayah Papua, dimana Kemenkes mengaku kesulitan dalam mengumpulkan RKO karena kondisi geografi yang ekstrem.

    �Namun begitu, ini kami anggap sebagai tantangan yang harus diselesaikan. Akan kami perhatikan betul,� katanya.

    Komitmen yang sama juga ditunjukkan Ketua BPOM Penny Kusumastuti Lukito yang menyatakan komitmennya untuk melakukan perbaikan pada tata kelola obat, khususnya yang terkait pada kewenangannya. Misalnya persoalan yang terkait Nomor Izin Edar (NIE) dan pengawasan post-market.

    �Kami siap berkoordinasi dengan pihak lain untuk melakukan perbaikan,� katanya.

    Sebagai informasi, kajian tata kelola obat dilakukan karena sejumlah alasan. Di antaranya belanja obat di Indonesia cukup tinggi, yakni berkisar 40 persen dari belanja kesehatan; Mahalnya harga obat; Perbandingan harga obat generik dengan generik bermerk yang cukup tinggi; Penggunaan obat generik yang relatif rendah (sekitar 60-70%, Data Kementerian Kesehatan, 2014).

    Selain itu, penggunaan e-catalogue obat juga belum optimal, baru sekitar 89% pada dinas kesehatan dan 33% pada rumah sakit pemerintah (Sumber: LKPP dan Kemenkes, 2015); serta persaingan ketat pada industri farmasi sehingga mengakibatkan tingginya biaya promosi dari biaya produksi.

    Dari sini, KPK mendorong para pihak melakukan perbaikan yang komprehensif dan terpadu. KPK merekomendasikan Kementerian Kesehatan untuk menerbitkan aturan yang belum ada, melakukan perbaikan dan sinkronisasi aturan yang bertentangan dalam pelaksanaan FORNAS, serta penyusunan RKO dan pengadaan melalui e-catalogue.

    KPK juga mendorong sinergi LKPP dan Kemenkes dalam menyempurnakan aplikasi yang telah dibangun agar terintegrasi, Kemenkes melakukan proses monev sebagai dasar evaluasi kebijakan pengadaan obat; serta Kemenkes/LKPP/BPOM membangun prosedur bersama untuk kegiatan yang melibatkan pekerjaan lintas instansi dalam rangka memperkuat koordinasi.

    Dalam waktu sebulan, para pemangku kepentingan akan merancang rencana aksi untuk melakukan perbaikan yang diharapkan bisa diselesaikan dalam rentang enam bulan berikutnya. (bentara)



    Berita Terkini

    20 April 2017

    Advertorial