beritanusantara.co.id   »   Sejarah dan Budaya

Kisah si Ganteng Pierre Tendean: "Dari Idola Para Gadis, Ngaku Nasution Hingga di-Dor"

Donny Turang 30 September 2016, 06:42


JAKARTA, beritanusantara.co.id - Di sebuah episode romantika si ganteng Pierre Andreas Tendean, tampak para mahasiswi di sebuah kampus tak bisa melepaskan pandangan dari podium.

Di sana memang ada Menteri Pertahanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menhankam/Kasab), Jenderal AH Nasution sedang memberikan ceramah.

Tapi bukan. Mata mereka ternyata bukan melihat Nasution, melainkan sesosok pria berkulit putih dan bertubuh atletis yang berdiri tegap di belakangnya.

Pria muda itu rupanya Letnan Satu Corps Zeni Pierre Andreas Tendean.

Pierre Tendean memang dikenal ganteng. Hingga di kalangan mahasiswi di kampus ada 'joke'. "Telinga untuk Jenderal Nasution, tapi mata untuk Letnan Tendean."

Anak gaul

Saat menempuh pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) dia juga bikin geger cewek-cewek Bandung.

Sampai-sampai dijuluki Robert Wagner dari Panorama. Robert Wagner ialah bintang film beken tahun 1950an, sementara Panorama merupakan nama daerah di Bandung tempat Atekad berlokasi.

"Setiap Pierre memimpin parade taruna, sosoknya selalu menarik perhatian," demikian dicatat Pusat Sejarah TNI.

Rooswidiati, adik Pierre Tendean juga membenarkan kalau kakaknya jadi idola gadis-gadis muda di Bandung saat itu.

"Banyak yang kesengsem. Dia adalah favorit para mahasiswi yang kuliah di sekitar Panorama," kata Roosdiawati dalam kesaksiannya untuk "Buku Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam".

Satu lagi kelebihan Pierre, dia mudah bergaul. Anak gaul, kalau istilah zaman sekarang.

Namun sang adik mengingat tak ada gadis yang dipacari kakaknya saat sekolah di Atekad. Pierre kelihatan lebih serius menekuni sekolah militernya daripada jalan-jalan dengan para mahasiswi itu.

Pendidikan di Atekad menitikberatkan pada bidang konstruksi dan teknik sipil selain bidang kemiliteran. Lama pendidikan untuk menjadi perwira zeni ialah empat tahun.

Tes asal-asalan

Jadi tentara memang pilihan hidup Pierre Tendean. Sesudah lulus SMA di Semarang, dia enggan mengikuti jejak ayahnya, Dr AL Tendean, seorang dokter berdarah Minahasa.

Konon Pierre sengaja mengerjakan tes asal-asalan saat mengikuti ujian Fakultas Kedokteran.

Nah, giliran daftar akademi militer, dia kerjakan dengan sungguh-sungguh.

Sudah bisa diduga, akhirnya Pierre jadi taruna angkatan darat tahun 1958. Walau saat itu yang mendukung hanya Mitzi, kakak sulungnya.

Ibu Pierre ialah Maria Elisabeth Cornet, seorang wanita indo berdarah Prancis. Dari ibunya Pierre memperoleh kulit putih dan tubuh tinggi.

Menyusup Singapura

Operasi penumpasan pemberontakan di Sumatera jadi pengalaman tempur pertama. Saat itu Pierre masih Kopral Taruna. Dia diberi kesempatan magang untuk merasakan medan pertempuran sesungguhnya.

Tahun 1962, dia lulus dari Atekad dan menyandang pangkat Letnan Dua. Jabatan pertamanya sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2/Kodam II di Medan.

Pierre tak lama menjadi komandan peleton. Saat persiapan Dwi Komando Rakyat, konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris, dia ditugaskan mengikuti sekolah intelijen di Bogor.

Pierre kemudian ditugaskan di garis depan. Menyusup ke Singapura dan Johor menyamar sebagai turis.

Dengan postur seperti bule, imigrasi tak curiga pria ini sebenarnya intelijen yang sedang mengumpulkan data.

Tugas menantang bahaya seperti ini rupanya disenangi Pierre. Namun sang ibu selalu khawatir. Dia pun meminta anaknya tak lagi bertugas di garis depan.

Disukai jenderal

Akhirnya Pierre mau menerima tugas sebagai ajudan Menhankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution. Dia bertugas mulai 15 April 1965.

Nasution dan istri memang sudah kenal dekat dengan keluarga Tendean. Ibu Nasution bahkan sudah mengenal Pierre sejak kecil. Selama di Bandung, Pierre juga sempat tinggal di kediaman keluarga Nasution.

Faktanya, tak hanya Jenderal Nasution yang ingin Pierre menjadi ajudannya. Jenderal Hartawan dan Jenderal Dandi Kadarsan juga ingin Pierre Tendean.

"Hanya untuk satu tahun saja, setelah itu saya akan minta dipindah," kata Pierre pada salah satu rekannya.

Pierre agaknya lebih nyaman menjadi perwira tempur lapangan daripada sebagai ajudan pejabat yang harus kental memegang protokoler.

Rindu ibunda

Namun baru enam bulan bertugas, terjadilah tragedi maut G30S. Sekelompok tentara Tjakrabirawa menerobos masuk ke kediaman Jenderal Nasution.

Ironisnya, Pierre saat itu sebenarnya sudah turun piket. Karenanya dia berencana pulang ke Semarang untuk merayakan hari ulang tahun ibunya yang jatuh pada tepat tanggal 30 September. Dia memang sudah merindu ibunda tercinta.

Tanggal 30 sore, dia berencana langsung pulang, namun dicegah keluarga Nasution.

"Besok pagi saja. Bermalam dulu, tak aman pergi malam-malam," ujar Edi Suparno, penjaga Museum Jenderal Besar AH Nasution, menirukan suasana sore itu, sebagaimana dicuplik merdeka.com.

Jadilah Pierre bermalam. Tapi, dia kemudian terbangun karena mendengar suara ribut-ribut. Seorang anak Nasution berlari untuk berlindung ke kamar paviliunnya.

Drama 'Nasution"

Pierre yang mengenakan jaket sontak bergerak dan keluar menyandang senapan. Ternyata tak jelas, di mana ajudan pengganti yang seharusnya bertugas menggantikan Pierre pada malam itu.

"Siapa di sana. Letakkan senjata!" bentak pasukan yang datang dengan beringasnya sambil menodongkan senjata.

Pierre tak mau digertak begitu saja. Satu hal yang pasti, apa pun situasinya, dirinya harus mengawal Jenderal Abdul Harris Nasution.

"Saya Nasution," katanya gagah pada para penculik. (Pastinya untuk mengatasi situasi, dimana dirinya reka berkorban nyawa demi sang jenderal yang menduduki posisi penting di republik ini ketika itu, yakni sebagai Menhankam/Kasab, Red).

'Drama' yang dimainkan Pierre memang berbuah cukup manis.

Sementara itu, Jenderal Nasution pun bisa menyelamatkan diri dengan cara melompat tembok ke Kedutaan Besar Irak yang berada di sebelah rumahnya.

Pierre (yang mengaku 'Jenderal Nasution') lalu segera diikat dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Di sana sudah berkumpul tentara dan pemuda rakyat pendukung Gerakan 30 September.

Pierre sempat melakukan aksi perlawanan saat mau ditembak. Namun karena secara kuantitas (jumlah personel dan senjata) tidak berimbang, akhirnya dia didudukkan paksa dan ditembak empat kali dari belakang.

Korban termuda

Jenazah Pierre dimasukkan paling akhir ke sumur tua itu. Sebelum ditutup tanah, seorang tentara merah memberondongkan senjata ke dalam lubang untuk memastikan semua korban tewas. Sadis, tragis.

Berakhirlah kisah dramatis seorang 'waraney' (ksatria, pendekar) pro Merah Putih dari Tanah Minahasa Raya.

Usia Pierre baru 26 tahun saat dibunuh. Dia menjadi korban termuda dan satu-satunya perwira pertama yang jadi korban penculikan gerombolan Letkol Untung.

Anak laki satu-satunya kesayangan sang Ibu ini tak pernah pulang ke Semarang.

Doa bersama

Hari Jumat (30 September 2016), DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP) menghadiri "Doa Bersama Mengenang Gugurnya Para Pahlawan Revolusi", mulai sekitar pukul 17.00 WIB di Monumen "Pancasila Sakti", Lobang Buaya, Jakarta Timur.

"Pierre merupakan satu-satunya pemuda Indonesia bergelar Pahlawan Revolusi. Anak muda ganteng yang patriotis dan nasionalis pro Merah Putih ini menjadi salah satu inspirasi beragam aksi GPPMP. Kami kirim delegasi khusus ke acara itu," kata Ketua Umum DPP GPPMP, Jeffrey Rawis, di Jakarta.

GPPMP merupakan salah satu organisasi pewaris dan penerus merah putih yang dilibatkan Pangdam Jaya pada acara dengan Pemimpin Upacara Kepaka Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) tersebut.

"Karenanya, delegasi GPPMP dipimpin langsung Ketua Harian, bung Rudy Sumampouw didampingi dua Ketua Bidang, yakni Herling Tumbel, Emmanuel Tular dan Donald Pokatong, serta sejumlah personel dari Wasekjen, Wabendum hingga pimpinan departemen, plus tim dari DPD GPPMP Jawa Barat," ungkap Sekjen GPPMP, Teddy Matheos. (benderanews.com)



Berita Terkini