beritanusantara.co.id   »   Sejarah dan Budaya

Aksi-Aksi Pilot PRRI Permesta (1)

Daniel �Daantje� Aleksander Maukar

3 September 2016, 11:37


PRRI Permesta di Sulawesi antara tahun 1958 � 1961 memiliki kandungan sejarah penerbangan militer yang dramatis, melibatkan sejumlah penerbang kawakan dan pesawat-pesawat legendaris pada waktu itu. Penerbang TNI AU Daantje Alexander Maukar, Lt. Col. William Beale, dan Lt. Allen Pope adalah para pilot yang lekat dengan sepak terjang gerakan pemberontak yang berpusat di Makassar Sulawesi ini. Pada masa itu pulalah nama Ignatius Dewanto muncul sebagai pilot sentral yang hingga hari ini relatif kurang disebut namanya, namun turut berjasa dalam mendatangkan Lockheed C-130 Hercules ke Ibu Pertiwi.

AMUKAN MIG DI ATAS ISTANA

Jika di dunia ada cerita mengenai seorang pilot tempur menerbangkan pesawatnya untuk kemudian menyerang istana kepresidenan negaranya sendiri, maka kisah itu mungkin hanya benar-benar terjadi di Indonesia. Letnan Udara II Daniel �Daantje� Aleksander Maukar, pria kelahiran Minahasa, merupakan seorang pilot TNI AU yang menerbangkan MiG-17 buatan Rusia. Pada suatu pagi tanggal 9 Maret 1960, ia lepas landas dari Lanud Hussein Sastranegara, Bandung.

Daantje saat itu disebut sebagai salah satu pilot terbaik yang dimiliki Indonesia, selain dari Leo Wattimena yang lulus dengan hasil cemerlang di pendidikan terbang di AS. Daantje sedang tidak hendak melakukan patroli, atau misi sergap, ataupun sorti latihan, melainkan ia mengarahkan MiG-17 yang diterbangkannya ke arah ibukota dengan misi serbu sungguhan. Rabu pagi selepas pukul 11.30 itu, Daantje kemudian melakukan manuver menghujam dan ia memuntahkan kanon 23 mm dengan 80 round per kanonnya ke arah gedung Istana Kepresidenan di mana Presiden Soekarno berkantor.

Beberapa bagian pilar istana, meja kursi dan jendela rusak. Beberapa orang juga dilaporkan terluka, dan muntahan kanon juga sempat menghantam bagasi mobil yang kebetulan saat itu sedang melintas. Bung Karno sendiri sedang berada di gedung lainnya di sekitaran istana bersama beberapa pengawal.

�Sebuah pesawat udara terbang rendah menjatuhkan bingkisan mautnya tepat di kursi biasa aku duduk. Rupanya Tuhan tengah menggerakan tangan-Nya untuk melindungiku,� kenang Soekarno soal peristiwa itu dalam buku biografinya yang ditulis Cindy Adams.

Tidak cukup sampai di situ, Daantje kemudian mengarahkan MiG-17-nya ke arah utara menuju Tanjung Priok. Kembali di atas Tanjung Priok ia memuntahkan kembali kanonnya ke penyimpanan minyak hingga dua unit penyimpanan minyak pun meledak. Aksi brutalnya belum usai, ia kemudian terbang jauh ke selatan, ke Kota Hujan. Istana Bogor pun juga tak luput sasaran kanonnya. Setelah puas, Daantje terbang ke jauh ke arah tenggara. Ia menghabiskan bahan bakarnya yang tersisa lalu kemudian melakukan pendaratan di lahan sawah di Garut, dan ia selamat.

Lantas apa yang melatarbelakangi aksi �One Man Air Force� ala Daantje itu? Setidaknya ada dua versi yang beredar dan sering dikutip dalam literasi sejarah. Pertama, sebagai Putra Sulawesi, Daantje bermaksud untuk memperingatkan Pemerintah Soekarno yang pada saat itu mulai �dekat� dengan Partai Komunis dan menyuarakan agar Soekarno mau berunding dengan Permesta di Tanah Kelahirannya, Sulawesi. Rencana ini sebenarnya direncanakan untuk dilakukan pada tanggal 2 Maret 1960 sebagai hari peringatan Proklamasi Permesta, tapi gagal, juga rencana keesokan harinya tanggal 3 Maret, namun gagal lagi.

Versi lainnya adalah terkait isu personal, antara Daantje, Presiden Soekarno, dan kekasih Daantje, namun Daantje menyanggah hal tersebut. Ia berkata, �Saya tidak sebodoh itu. Penyerangan ke istana itu, tidak ada sangkut pautnya dengan Molly [kekasih Daantje].�

Sontak, Daantje kemudian dijatuhi hukuman berat atas aksinya, yakni hukuman mati. Meski didesak untuk meminta maaf secara langsung kepada Presiden Soekarno, ia tegas menolaknya. �Ini masalah prinsip,� ujarnya. Tak disangka tak dinyana, Presiden Soekarno justru kagum dengan sikap Daantje. �Saya suka anak muda ini,� ujar Presiden Soekarno. Daantje kemudian dibebaskan setelah 8 tahun mendekam di penjara, yakni pada tahun 1968. Daantje sendiri mengaku sebenarnya ia tidak bermaksud untuk membunuh Presiden. Ia menuturkan,

�Bagaimana saya bisa membunuh orang yang jadi idola saya,� ujar Daantje. Ia mengaku, menembak Istana Negara saat tidak ada bendera kuning emas sebagai tanda Presiden berada di tempat. Dulu ada kode Kepresidenan RI, tanda bendera kuning emas yang terpasang di depan Istana menandai Presiden berada di Istana.

Daantje kemudian aktif bergerak dalam bidang kerohanian dengan menjalani hidup sebagai pendeta hingga tutup usia pada tahun 2007 silam. (bersambung)



Berita Terkini

20 April 2017

Advertorial