beritanusantara.co.id   »   Informasi Sulawesi Utara   »   Opini

Penelitian Hukum Harusnya Belajar dari Filosofi Lubang Donat

Oleh: Agung Wibowo*

Donny Turang 20 February 2017, 02:38


Semua orang kenal donat. Penganan unik yang tengahnya berlubang. Dalam Glazed America: A History of the Doughnut (2008), penulisnya Paul R. Mullins menyebutkan donat dilubangi bagian tengahnya agar keseluruhan donat cepat matang. Lewat teknik kuliner sentrifugal ini, maka akan dihasilkan adonan yang cepat, merata dan menyeluruh. Suatu tingkatan tinggi dalam seni kuliner

Lalu apa kaitan donat dan penelitian hukum?

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (maachtstaat). Begitu bunyi Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen 4) Pasal 1 ayat 3.

Ide ini muncul dikarenakan Indonesia yang telah merdeka harus meletakkan hukum sebagai kontrol dalam kasus penyalahgunaan kekusaan (abuse of power). Kemudian apakah hukum lalu membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi kemaslahatan masyarakat?

Belum tentu, acapkali sebaliknya malah membawa petaka.

Ambil saja contoh konflik agraria, konflik ini justru termanifestasi dari pemberian izin yang dikeluarkan lewat legitimasi hukum. Sebagai contoh dalam praktiknya legalitas izin eksploitasi tanah perusahaan yang dapat menyingkirkan keberadaan masyarakat.

Hukum masih belum berpihak pada keadilan. Kita memang tengah dibelenggu dunia yang banal. Dikepung antara paradigma kebutuhan atas ketertinggalan, modernitas di satu tangan dan di tangan lain, kemiskinan masih menghantui di sana-sini. Hukum belum jadi sebuah manifesto realitas di antara kepungan itu.

Seharusnya bak lubang donat, hukum harus mampu menyebar panas agar agar sebuah minyak menyebar dan merata. Ini jadi pertanyaan pula dalam penelitian hukum. Akankah hukum menengok dan menjangkau keteradilan pada aspek masyarakat yang terkucilkan, terminoritaskan serta termarjinalkan? Jika tidak, lalu dimana kendalanya?

Trend Penelitian Hukum

Dalam kajiannya, Lynn Matter (2016), membagi dua tren gaya penelitian hukum yang ada saat ini; pertama, institusional (institutional analyses), dengan sifat mendeskripsikan kasus per-kasus, menyalahkan lawan politis (blaming) yang berseberangan, dan kedua, instrumental (actor of law), dengan menjelaskan para aktor-aktor yang berperan sebagai agen perubahan dalam instrumen hukum.

Gaya yang kedua, menurut penulis penting dalam melakukan dekonstruksi hukum dan membuat kebijakan yang lebih baik di masa yang akan datang, khususnya dalam pengawalan berbagai perubahan sosial.

Penulis akan mengambil pengalaman ketika mengawal advokasi hutan adat di sebuah kementerian beberapa saat yang lalu.

Kebijakan penetapan hutan adat mendesak diperlukan sebagai pemulihan keberadaan masyarakat hukum adat. Namun, alih-alih para birokrat di sebuah Direktorat Jendral cekatan dalam implementasi kebijakan lapangan, justru mereka sangat bias akan konteks sosial kehidupan masyarakat di lapangan.

Sebaliknya para pendamping gerakan masyarakat sipil-lah yang kerap memberikan banyak data sosial mengenai masyarakat. Itupun mereka masih harus perang urat syaraf selama tiga tahun untuk meyakinkan hak hutan adat.

Sementara itu dari sisi peraturan, pun tak kalah karut-marut. Penulis ambil contoh dalam wilayah gambut, kawasan yang sering diperbincangkan dalam dua tahun terakhir ini. Ternyata, tidak semua peraturan perundang-undangan menyebut �masyarakat� atau secara eksplisit konteks keruangan �Gambut/Ekosistem Gambut�.

Pada tataran Undang undang, maka implisit yang memaknai wilayah gambut misalnya UU No. 5 tahun 1990 akan terkait dengan gambut yang berada pada wilayah konservasi (taman nasional, cagar alam, dll).

Demikian juga UU No. 41 tahun 1999 yang akan terkait dengan gambut yang berada di dalam kawasan hutan. Sedangkan untuk sektor perkebunan, maka UU No. 18 tahun 2004 akan menjadi acuan bagi komoditi perkebunan yang ada di lahan gambut (misal: kelapa sawit).

Pada aspek keruangan, UU No. 27 tahun 2007 akan berimplikasi pada kesatuan hidrologis gambut dan kesesuaiannya dengan tata ruang. Dari kesemuanya, UU No. 32 tahun 2009 yang paling memiliki kaitan erat dan menjadi aturan yang memayungi ekosistem mengenai gambut.

Padahal bila kita melihat aspek sosial, telah ada masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat yang mendiami ekosistem gambut. Gambut sering hanya dipandang sebagai sebuah ekologi bentukan alam tanpa melihat adanya masyarakat sebagai bagian dari komponen didalamnya.

Dengan demikian, sering kali kebijakan justru berdampak buruk bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat.

Sosiologi-Hukum sebagai Aktivisme Yudisium

Penelitian hukum dengan pendekatan ilmu hukum (yang doktrinal) pun kerapkali tak menyentuh sisi keadilan yang substantif, karena kemampuannya dalam memahami konteks sosial yang melingkupi kasus-kasus tertentu terbatas (Danardono, ed., 2015). Hal ini dapat dimengerti, karena umumnya saat melakukan pendekatan sosiologis, belum tentu penelitian yang dilakukan menyuarakan realitas yang ada di masyarakat, tapi lebih pada upaya mengambil fragmen-fragmen faktual yang saat itu terjadi di masyarakat.

Padahal dalam mengkaji isu hukum yang terkait dengan konflik-konflik hukum, kita tidak semata-mata menjebakkan diri dalam lingkaran kajian tekstual yang melihat hukum sebagai sebuah rangkaian pasal dan prosedural semata.

Sebaliknya kita harus mengembangkan suatu analisa di luar tekstualitas perundang-undangan agar kita bisa memahami bagaimana masyarakat menyelesaikan konflik-konfliknya; atau bagaimana mendorong terjadinya suatu perubahan.

Menurut penulis, paling tidak ada tiga metode awal dalam menyajikan sosiologi hukum sebagai pendekatan aktivitas yudisium para pengampu kebijakan atau para aktivis memandang hukum:

Pertama, kita harus menyadari bahwa analisis sosial pada masyarakat tidak dirancang untuk memberikan jawaban langsung atas pertanyaan �apa yang kita perbuat�? (Peter Henriot & Joe Holland, 1991: 2-3). Sebab jawaban atas pertanyaan tersebut merupakan pemikiran yang dihasilkan dalam pola perencanaan, sebuah rancangan strategi yang akan menyajikan pilihan untuk berbagai tindakan khusus, terencana, dan terukur.

Kedua, analisis sosial bukan sekedar pekerjaan yang eksklusif dan esoteris reflektif yang dimonopoli oleh para intelektual semata. Paradigma aktor nyata bahwa masyarakat sesungguhnya setiap hari telah menerapkan narasi analisa sosial dalam berbagai bentuknya.

Kita menggunakannya saat mendapat masalah yang harus dihadapi. Kita berupaya menangkap fragmen-fragmen sosial itu. Semakin banyak berpikir prosedural, maka semakin banyak jarak menangkap fragmen tersebut.

Ketiga, analisis sosial tidak merupakan bentuk sebuah ide yang bebas nilai, netral, atau objektif. Karena analisis sosial merupakan cara melihat dari sudut pandang tertentu yang tergantung dari siapa melihat apa. Misalnya, saat kita merumuskan masalah sosial, memilih pendekatan yang jitu, merumuskan pertanyaan-pertanyaan, merumuskan kesimpulan akan dipengaruhi oleh nilai-nilai atau prasangka-prasangka subyektif kita.

Dengan demikian, aktivisme hukum penting, sebab penelitian hukum yang menggunakan pendekatan ilmu sosial akan menjadi suatu penelitian yang menggunakan metodologi non-doktrinal dan yang menempatkan pendekatan multidisipliner kritis untuk mengkaji hukum.

Dengan kesadaran berdekatan dan mengambil banyak fragmen sosial adalah langkah mengambil kebijakan melalui penelitian hukum yang tepat bagi masyarakat.

Tampaknya penelitian hukum memang harus belajar dari filosofi pembuatan donat.

*Penulis adalah kandidat master di Onati International Institute for Sociology of Law, University of the Basque Country, Spanyol. Ia juga merupakan peneliti di Perkumpulan Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, HuMa, Jakarta. Saat ini tinggal di Onati, Spanyol.



Berita Terkini

20 April 2017

Advertorial