beritanusantara.co.id   »   Informasi Keberadaan Lingkungan

Laporan Greenpeace Sebut HSBC Andil dalam Kerusakan Hutan, Mengapa?

Donny Turang 20 January 2017, 00:46


GREENPEACE Internasional menerbitkan laporan terkait perbankan yang andil bagian dalam kerusakan hutan di Indonesia. Dugaan ini pun tertuju pada bank terbesar asal Inggris, HSBC yang mendanai perkebunan sawit. Organisasi ini mendesak pemerintah pusat maupun daerah menindak tegas pelanggaran dan Otoritas Jasa Keuangan memanatu ketat penyaluran modal pada aspek lingkungan dan hak asasi manusia.

Laporan Greenpeace yang rilis Rabu 17 Januari 2017, berjudul Dirty Bankers menyebutkan, HSBC telah memberikan pinjaman dana dan fasilitas kredit US$16,3 miliar dan dalam bentuk obligasi korporat US$2 miliar kepada enam perusahaan sawit sejak 2012.

�Dukungan keuangan ini bertolak belakang dengan kebijakan yang bertanggungjawab terkait deforestasi yang diklaim HSBC, yang merusak hutan hujan tropis untuk sawit,� kata Annisa Rahmawati, Jurukampanye Senior Hutan Greenpeace Asia Tenggara.

Komitmen keberlanjutan, terkait kebijakan komoditas kehutanan dan pertanian yang melarang pembiayaan ataupun menyebabkan deforestasi masih sangat lemah atau gagal dalam pengawasan.

Pasalnya, beberapa tahun kebelakangan, HSBC memulai ataupun mempertahankan hubungan finansial dengan perusahaan yang merusak hutan.

Dalam studi kasus ini, Greenpeace meneliti 18 bank internasional yang memberikan penyaluran dana hingga US$ 23 miliar untuk enam perkebunan sawit. HSBC mendominasi penggelontoran dana pinjaman itu.

Adapun, enam perusahaan itu adalah PT Bumitama Agri Ltd, Goodhope Asia Holdings Ltd, IOI Group, Noble Group, POSCO Daewoo Corporation, dan Salim Group (Indofood). Perkebunan-perkebunan sawit ini tersebar di Kalimantan, Sumatera, sampai Papua.

Perusahaan-perusahaan itu, ada yang telah ditegur bahka setop operasi oleh RSPO karena diduga menjadi penyebab kebakaran tak terkendali.

�Melalui dana HSBC, mereka (enam perusahaan) telah menghancurkan kawasan hutan hujan tropis, gambut dan habitat orangutan di Indonesia,� katanya.

Tak hanya itu, perebutan tanah masyarakat, operasi tanpa izin legal, pelanggaran hak pekerja dan penggunaan buruh anak, kebakaran hutan dan pengeringan serta pengembangan di gambut kaya karbon menjadi catatan lain dalam penggunaan pinjaman dan layanan keuangan HSBC.

�Kami berharap, pemerintah pusat maupun daerah dan aparat penegak hukum memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan itu,� katanya.

Enam perusahaan dianggap telah melampaui batas aturan di Indonesia, seperti moratorium sawit, UU Ketenagakerjaan, UU Lingkungan Hidup, dan regulasi terkait Amdal.

HSBC Indonesia mengeluarkan penjelasan. �Kebijakan HSBC melarang pembiayaan kegiatan operasi ilegal, merusak hutan lindung bernilai tinggi atau melanggar hak-hak pekerja maupun masyarakat,� kata Daisy K. Primayanti, juru bicara HSBC Indonesia melalui surat elektronik.

Dia menyebutkan, HSBC tak memberikan layanan keuangan secara langsung mendukung perusahaan sawit yang tak mematuhi kebijakan. �Sepanjang pengetahuan kami, tak ada nasabah yang diduga beroperasi di luar koridor kebijakan, dimana kami belum mengambil atau tak mengambil tindakan tepat.�

Annisa bilang, HSBC harus menjelaskan bagaimana mereka memperbaiki dan merevisi kebijakan agar sejalan dengan standar �nol deforestasi, nol gambut, nol eksploitasi.�

Dalam penelusuran layanan keuangan dan pinjaman ini, HSBC sengaja membuat rumit struktur korporat untuk menghindari pemeriksaan.

Dengan menganalisa data keuangan perusahaan dan rekening perusahaan, begitu juga penelitian lapangan, Greenpeace melacak mereka bertanggungjawab atas kehancuran hutan. �Baik melalui perusahaan induk ke HSBC dan bank-bank internasional lain,� katanya.

OJK belum bertaring

Pada akhir Desember 2014, OJK sempat meluncurkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan, dimana ini mampu menciptakan iklim invetasi yang mengedepankan aspek lingkungan, sosial dan HAM.

Greenpeace menilai, ini langkah awal baik dalam menghambat laju kerusakan lingkungan melalui dana bantuan dari bank atau lembaga keuangan lain.

�Fungsi OJK kan memang salah satu pengawasan, untuk sektor lingkungan masih belum kuat perannya.�

Dia mendesak, OJK mampu memastikan bank-bank dan lembaga keuangan nasional mengimplementasikan roadmap ini. Perbankan nasional harus mengevaluasi kebijakan keberlanjutan mereka. �Mereka (bank nasional) bisa kehilangan kepercayaan publik jika mendanai kerusakan.

KPK pun, katanya perlu melihat potensi korupsi terhubung oleh korporasi itu. Ketidakjelasan struktur perusahaan dalam menentukan subyek yang bertanggungjawab atas operasi menjadi peluang tindak pidana korupsi atau pengemplangan pajak yang merugikan negara Indonesia.

Sumber: mongabay.co.id



Berita Terkini

20 April 2017

Advertorial