beritanusantara.co.id   »   Informasi Sulawesi Utara   »   Opini

Daya Saing Listrik dan Nasib EBT

Oleh: Joko Tri Haryanto*

Donny Turang 18 January 2017, 02:51

DALAM kesempatan peresmian proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 dan 6 serta Ulubelu Unit 3, Presiden mengeluhkan mahalnya harga listrik di Indonesia. Menurut Presiden, banyaknya broker dan makelar menjadi salah satu faktor utamanya selain persoalan infrastruktur dan teknologi. Karenanya beliau menegaskan kembali komitmen pemberantasan demi menciptakan daya saing listrik yang kompetitif.

Sebelumnya, terkait pertemuan Conference of the Parties (COP) 22 di Maroko, pemerintah juga menyepakati upaya konkret untuk menjalankan secara bersama-sama Paris Agreement tahun 2016, yang mencoba mengartikulasikan bagaimana kesepakatan seluruh negara di dunia untuk bekerjasama menurunkan suhu bumi dari dampak pemanasan global (global warming). Di level nasional, Paris Agreement diterjemahkan dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sebesar 29% dengan upaya domestik serta 41% dengan bantuan dana internasional di tahun 2030.

Target penurunan emisi tersebut kemudian diturunkan ke dalam target masing-masing sektor utama penyumbang emiten terbesar. Sektor kehutanan dan lahan gambut masih tercatat sebagai penyumbang emisi terbesar di Indonesia (hingga 84%). Namun demikian sektor energi juga tidak dapat diabaikan karena terformulasikan dalam berbagai sektor lainnya baik energi sendiri, transportasi serta limbah. Perubahan paradigma energi sebagai modal pembangunan juga mewajibkan pemerintah untuk segera mengembangkan berbagai bentuk Energi Baru Terbarukan (EBT).

Dalam pembahasan APBN 2017, pemerintah menginisiasi mekanisme subsidi EBT sebesar Rp1,3 triliun. Rencananya, alokasi subsidi EBT akan diberikan kepada pengembangan biofuel, panas bumi, sampah, tenaga matahari dan beberapa jenis EBT lainnya. Dengan menambahkan akun belanja subsidi EBT ini, diharapkan mampu memperbaiki posisi Indonesia dalam Paris Agreement selain mempercepat pencapaian target Bauran Energi Primer (listrik dan non-listrik) pada Kebijakan Energi Nasional (KEN) tahun 2025 dari sisi EBT sebesar 23% sekaligus menjawab isu keberlanjutan energi. Hingga kini, realisasi pencapaian EBT sendiri baru berkisar 6%.

Sayangnya, usulan mekanisme subsidi EBT kandas di parlemen. Dalam pembahasan lebih lanjut, pemerintah justru diharapkan lebih banyak memberikan mekanisme insentif dan dis-insentif dalam pengembangan EBT, bukan sekedar mengalokasikan subsidi secara langsung. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga menilai bahwa pengalokasian subsidi EBT secara langsung malah berpotensi tidak tepat sasaran karena diberikan via korporasi bukan ke masyarakat. DPR juga mempertanyakan ukuran kinerja tepat sasaran dari subsidi EBT itu nantinya.

Permasalahan

Secara umum keberatan dari DPR terkait usulan subsidi EBT memang berasalan. Kebijakan umum subsidi listrik tahun 2017 sendiri mengamanatkan kewajiban alokasi subsidi listrik yang tepat sasaran melalui beberapa mekanisme diantaranya: meningkatkan efisiensi anggaran subsidi listrik, memperbaiki mekanisme penyaluran penerima subsidi listrik, memberikan subsidi listrik yang lebih tepat sasaran kepada rumah tangga miskin dan rentan untuk pelanggan 900 VA.

Berkaca dari kebijakan umum subsidi listrik 2017 tersebut, di satu sisi kebutuhan akan pengembangan EBT memang sudah tidak terbantahkan. Terlebih Indonesia sendiri dikaruniai berbagai jenis EBT yang sangat melimpah baik panas bumi, tenaga surya, sampah, angin dll. Semangat tersebut juga sudah menyatu dalam Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), pun telah menyatakan paradigma energi sebagai modal pembangunan.

Namun sayangnya, di tengah perjalanan masih banyak hambatan dan tantangan yang menghadang, terlebih ketika harga internasional komoditi migas mengalami kejatuhan secara drastis. Secara otomatis Biaya Pokok Penyediaan (BPP) berbagai pembangkit listrik berbahan bakar fossil fuel (BBM dan batu bara) menjadi lebih murah. Ketika infrastruktur yang ada masih terbatas, perhitungan biaya untung rugi akan memaksa pengembangan EBT jalan di tempat. Terlebih dukungan yang telah diberikan oleh pemerintah melalui mekanisme Feed in Tarrif (FiT) masing-masing EBT masih jauh lebih tinggi akibat teknologi yang masih mahal, dibandingkan BPP pembangkit fossil fuel.

Pada akhirnya rencana pengembangan EBT yang sudah masuk di dalam program KEN menjadi terhambat. Para pengembang swasta yang awalnya berlomba-lomba mengembangkan berbagai jenis EBT, mulai meragu karena tidak ada kepastian listrik yang sudah dihasilkan akan dibeli pemerintah. Disinilah sebetulnya peran utama dari usulan kebijakan subsidi EBT di tahun 2017. Dengan usulan Rp1,3 triliun, diharapkan dapat memangkas selisih harga jual EBT dengan harga BPP yang sesungguhnya.

Opsi lainnya sebetulnya ada, melalui pembebanan sebagian selisih biaya kepada konsumen. Negara tetangga kita, Malaysia, sudah menerapkan opsi tersebut dalam menciptakan skema Dana Ketahanan Energi (DKE) negaranya. Hal yang sama mungkin dapat dikaji pula untuk diterapkan di Indonesia. Tentu dengan berbagai pertimbangan yang komprehensif.

Jika tidak maka opsi terkahir yang mungkin perlu untuk diwacanakan adalah pembentukan PT PLN khusus pengembangan EBT. PT PLN EBT ini dapat menjadi anak perusahaan PT PLN konvensional ataupun beroperasi secara terpisah. Dengan pemisahan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antara PT PLN EBT dengan PT PLN konvensional, penulis yakin ke depannya Indonesia akan mampu menjadi yang terdepan dalam pengembangan EBT di dunia.

Penulis adalah: *Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*



Berita Terkini

20 April 2017

Advertorial